Hari ini gue berangkat ke gym lebih larut dari biasanya. Menjelang pukul sembilan malam. Badan gue udah lelah, tapi pikiran gue menolak mengalah.
Gue tiba di gym lima menit lebih awal dari jadwal latihan. Dari kejauhan terlihat coach gue mulai sibuk memasang plates ke barbel.
Shit, deadlift lagi.
Dari berbagai menu latihan kami, gue paling gak suka deadlift. Sebenarnya deadlift sangat efektif untuk full-body workout, tapi gue selalu kesulitan menemukan form yang tepat dan ada mental block yang bikin gue ragu setiap mau lifting. Hasilnya jadi kurang memuaskan dan progres gue terasa lambat. I hated it.
Gue berjalan menghampiri coach gue sambil mengernyitkan dahi. Di percobaan ketiga deadlift ini ternyata dia menambah plates-nya. Jumlah bobot beban yang harus gue angkat menjadi lima puluh kilogram alias sama dengan berat badan gue sendiri.
“Kak, yang bener aja!? Latihan yang lain boleh gak?” Gue berusaha nego. Udah pesimis duluan ngeliatnya.
“Bisa kok, kemarin kan empat puluh kilogram bisa?” Katanya menyemangati.
“Itu kan pas aku lagi fit, kalo sekarang…” Gue lagi bad mood dan belum makan malam. I could barely leave the bed earlier, leave alone lifting. I wouldn’t make it. I didn’t even want to bother trying.
“Coba dulu aja,” dia langsung mengambil posisi di hadapan gue. Barbel tergeletak di antara kami. It was a command, not a suggestion. Perlahan gue mengatur posisi sampai mendapat anggukan lampu hijau darinya.
Gue menarik napas dalam dan bersiap mengangkat beban hidup barbel.
It didn’t move an inch.
“Tuh kan, aku gak bisa yang ini. Turunin bebannya aja ya Kak,” I let out a long sigh. This was all too soon, I wasn’t ready.
“Jangan, ayo coba lagi. Go!” Dia gak bergeming. Matanya fokus memperhatikan barbel dan posisi gue. “Ototnya semua aktif, pas diangkat jangan dihentak!”
I gave it another shot. I gave all my power in one breath. I could feel the weights on my body, but still, it didn’t move.
Gue mau nangis. Bingung, marah, dan capek jadi satu. My back hurt.
“De, diangkatnya bukan pakai tangan,” dia mengambil alih posisi sambil membiarkan gue menenggak hampir setengah botol air minum. “Fokus power di kaki, kunci perut dan punggungnya. Jangan dihentak.”
Gue kembali ke posisi dan mencoba mengecek kembali bagian yang gue miss. I might have set my focus incorrectly.
So I gave it one last shot. Tangan gue menggenggam barbel dengan lebih erat tanpa mengikat, perhatian gue beralih dari bobot beban barbel ke target form gue saat lifting. “Oke, fokus ke bangkitnya, bukan bebannya.”
Then I did it. Three reps.
“Yey! PR baru nih!” Sahutnya bangga.
Gue tersenyum sambil melirik telapak tangan gue yang mulai lecet. Rasanya melegakan sekali. I managed to push through the pain.
Buru-buru gue mengambil HP untuk mengabadikan progress ini. Pandangan gue berhenti ke notifikasi email yang baru masuk. Scroll, scroll, masuk ke Google Calendar. Gue terdiam sejenak mengamati sebuah agenda yang udah berada di sana sejak beberapa bulan lalu. I made up my mind right away.
“Delete event?” Clicked.
I asked for a quick break to process what just happened.
Shit, I have been looking forward to that moment for a while now and knowing that it won’t be happening gave me mixed feelings.
Sedih, kecewa, dan lega jadi satu. Things were all over the place yet started to make sense at the same time. An ending and a beginning are two sides of the same coin. Tinggal pilih mau disesali atau diselebrasi.
Gue masih belum menemukan “form” yang tepat untuk menjalani konsekuensi dari keputusan ini, and I might never be 100% sure about it, but I decided to push through the pain.
Just like deadlift, sometimes something that seems deadly-looking can actually be an uplifting experience.
All you gotta do is shift your focus to your progress, not your current heavy loads.
Be First to Comment