Skip to content

Rel Kereta Api

Beberapa waktu lalu Raditya Dika ngasih kado enam lot saham perusahaan es krim untuk anaknya yang baru menginjak usia dua tahun. Imbasnya, banyak orang terinspirasi untuk mulai memupuk literasi keuangan di keluarga mereka sedini mungkin, termasuk gue.

Gue jadi mikir, “What’s one financial lesson my father has taught me?”

Memori gue kembali ke sebuah obrolan singkat dengan bokap tentang gue yang baru pindah kantor. Pertanyaan pembuka bokap seketika bikin gue menyesal mengiyakan ajakan makan siangnya.

“Gaji di sana berapa?” Tanyanya tanpa basa-basi.

Segini, Pa,” jawab gue singkat. Bokap gak berusaha menutupi ekspresi kecewanya. Guratan-guratan halus pada wajahnya terlihat semakin jelas. Sorot matanya tajam, namun lelah. Gue ingin loncat dari mobil.

“Harusnya kamu bisa dapat lebih dari itu. Minimal sekian lah.” Bokap menarik nafas panjang sambil perlahan menginjak rem kaki. Mobil kami berhenti tepat di belakang palang kereta api. Dari kejauhan terlihat lokomotif dengan deruan suara kereta api yang keras melaju cepat. Gue ingin lari ke sana.

“Kamu maunya apa sekarang?” Bokap melanjutkan. Sebuah pertanyaan retoris.

“Kamu udah umur segini, tapi belum jelas arahnya kemana. Kamu itu udah kalah dari orang-orang sepantaran kamu.” Tenggorokan gue terasa kering, berbanding terbalik dengan area di sudut mata gue yang mulai basah. Cepat-cepat gue mengambil tisu di atas dashboard mobil, menyeka air mata yang menggenang, dan menggenggam tisu erat-erat.

Pandangan gue tertuju ke rel yang berada kurang dari sepuluh meter dari mobil kami. Sepasang logam batang yang punya satu tujuan simpel: mengarahkan jalannya kereta api. Di mata bokap, mungkin gue terlihat seperti kereta api yang gak punya rel alias gak punya tujuan hidup.

“Kalau mau sukses, kamu harus bikin rencana dan fokus kesana, jangan cuma ikut arus. Coba kamu bla bla bla…”

The rest was history. I heard, but didn’t listen. I couldn’t comprehend his words. All I knew was I just made another disappointment. Tanpa sadar gue masuk ke dalam “bubble” untuk bersembunyi dari rasa malu, sedih, marah yang bokap rasakan ke gue.

Semakin lama “bubble” itu terasa semakin sempit. Seperti bom yang siap meledak tanpa perlu kompromi dengan waktu. Gue gak mengidap klaustrofobia, but I was dying for fresh air. I wanted to get the hell out of there ASAP.

Gue kenal cukup banyak orang yang ambisius. Soal karir, uang, pendidikan. Mereka gak ragu mengorbankan waktu, tenaga, keluarga, atau apapun yang menghalangi “rel” mereka.

Bokap percaya bahwa kerja keras gak akan pernah mengkhianati hasil. Gue selalu mengagumi dedikasi dan work ethics-nya. Gue gak pernah meragukan pencapaiannya. Dari banyaknya apresiasi untuk bokap yang pernah gue dengar, sebagian besar menggambarkan tingginya standar kerja yang ia terapkan.

Ibarat kereta api, bokap hampir gak pernah berhenti melaju. Entah stasiun mana yang dituju.

Bertahun-tahun gue diberondong pertanyaan, “Apalagi yang Papa cari? Kenapa semuanya selalu terasa kurang? Kenapa tiap weekend selalu dihabiskan dengan kerja di luar? Kenapa gue gak bisa sesukses Papa? Kenapa gue gak bisa bikin Papa bangga?”

I’ve tried my best to do things his way, to apply his tips ‘n tricks that should bring me success, accomplishments, and him being proud of me.

Turns out… I didn’t really excel in my study nor career.

I finished college with no remarkable scores. I wasn’t what companies would consider when they had to slim down its workforce. I didn’t make impressive earnings, hell, you could say that I lived pay check to pay check.

I’m not the one that fits my father’s definition of success. In fact, I’m far from it.

I never aim for huge numbers nor fanciest titles. All I know is I do whatever brings me small joys and more often than not, it comes from making lives of people around me a little bit better. I have yet defined what kind of “success” that fits me best, but I think that’s okay.

“…Papa cuma pengen Dea berhasil. Gimana jalannya, Papa percayain sama Dea. Yang penting Dea seneng ngejalaninnya,” suaranya menghilang ditelan getaran kereta api. Pandangan kami bertemu sesaat sebelum mobil kembali melaju. Kikuk, tangan gue perlahan menyentuh tangan bokap yang menggenggam persneling. Hangat. Sisa perjalanan kami habiskan dalam diam yang menenangkan.

Parents may not always know what’s best for their kids, but they will always hope the best for them.

My father and I may have different “railroads” of determining success, but once in a while, I would love to see him stopping by one of my little train stations to rest and exchange stories.

 

PS. Happy belated birthday, Pa.

One Comment

  1. […] Lagi-lagi bokap hanya mengangguk pelan. Perjalanan kami malam itu terasa awkward. Buat gue, tepatnya. Gue merasa canggung tiap kali berduaan dengan bokap. Takut gak siap dengan pertanyaan-pertanyaannya. […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *