Iklan persiapan menghadapi New Normal mulai wara-wiri di feeds gue seminggu terakhir. Dari perlengkapan kesehatan seperti hand sanitizer dan masker kain bermotif gemas sampai paket virtual wedding. Sayangnya, belum termasuk paket check-up kesehatan mental.
Berdiam #dirumahaja selama hampir tiga bulan jelas bukan hal yang gampang bagi siapapun. Menghabiskan lebih banyak waktu di rumah memaksa gue berhadapan dengan pikiran-pikiran yang selama ini gue hiraukan.
Kadang gue beralih ke olahraga, masak, atau beberes. Kadang gue dibikin yakin bahwa apapun yang gue lakukan gak ada artinya. Ibarat mobil, bensin gue yang penuh akhirnya habis dibawa muter-muter tanpa arah dan tujuan yang jelas.
Sebelum aki si mobil ikut soak, gue memutuskan untuk bertukar pikiran dengan tenaga profesional yang lebih berakal.
Mencari Psikolog
Ada banyak alasan untuk booking sesi kali ini. Panic attack yang kembali sering hadir, adaptasi pasca corporate lyfe, hingga sekadar ingin didengar tanpa dihakimi.
Gue sering berandai. Kalau sebelum cerita sama orang lain kita bisa dikasih opsi “listen-only or seek-advice” dulu, mungkin di akhir cerita kita akan merasa lebih lega, bukannya malah makin pening karena dibombardir nasehat yang gak pernah diminta.
Daripada menyalahkan lawan bicara yang gak merespon sesuai harapan, gue memutuskan untuk mencari pertolongan dari psikolog melalui sesi konseling online.
Gue coba browsing layanan konseling online di beberapa platform dan menemukan nama-nama psikolog yang cukup familiar dengan jam terbang yang meyakinkan, tapi gak lanjut antara karena beliau lagi gak praktek atau tarifnya kemahalan buat gue. Hahaha.
Akhirnya pilihan gue jatuh ke seorang psikolog klinis dewasa yang direkomendasikan oleh Mbak Admin dari sebuah platform. Gue googling profil beliau dan langsung sreg (iya, nyari psikolog kayak nyari jodoh, kadang butuh momen you-know-when-you-know). Wanita, usianya terlihat gak terlalu jauh dari gue, pakar urusan karir dan keluarga.
Setelah mengonfirmasi jadwal sesi, gue mengisi formulir data pribadi dan NDA. All set. Fingers crossed.
Persiapan Menjelang Sesi
Siang itu gue janjian untuk ngobrol jam 11, tapi udah di depan laptop dari jam 10. Nyari posisi duduk yang nyaman tanpa membelakangi cahaya, cek fungsi mic dan kamera, siapin catatan berisi topik dan pertanyaan…
Ini mau konseling apa interview?
Asli, groginya sama. Bahkan gue mikirin first impression nanti bakal gimana. Padahal ini justru kesempatan gue buat tampil seada-adanya, kan?
And that said something about one of the issues we were about to discuss.
Sesi Dimulai
Sesi dimulai tepat waktu. Psikolognya—sebut aja Ibu F—menyapa dengan ramah dari balik layar. Rasanya seperti bertemu teman lama. Grogi gue perlahan mencair. Beliau mempelajari alasan dan tujuan gue dari sesi kali ini. Poin penting supaya kedua pihak bisa mengatur ekspektasi.
Awalnya gue sempat ragu ikut sesi konseling online karena gak bisa ngobrol langsung. Beda aja gitu feel-nya. Tapi ternyata selama koneksi mendukung, gue hampir gak ngerasain perbedaan apapun dengan sesi konseling offline. Gue malah jadi lebih lepas ngomong atau berekspresi karena mikir gak ada yang ngeliatin.
Gue juga bisa sambil nulisin insight yang gue dapat selama ngobrol. Hahaha. Biasanya mana kepikiran.
Key Takeaways
Entah karena prihatin atau Ibu F memang kebetulan lagi lowong, sesi gue berlangsung hampir 1,5 jam. Dua kali lebih lama dari sesi pada umumnya! Gue sih bahagia-bahagia aja..
Topik yang gue obrolin dengan Ibu F beragam; karir, keluarga, percintaan. Tapi ada beberapa key takeaways yang mungkin bisa jadi friendly reminder terutama untuk teman-teman yang sering merasa cemas dan punya kebiasaan overthinking:
- Mindfulness. The art of living in the moment. Bukan masa lalu, bukan masa depan. Apapun yang terjadi hari ini bisa mengubah besok dan gak bakal bisa mengubah kemarin. Jadi, yang kita punya ya cuma hari ini. Sekarang.
- Selesaikan satu persatu. Setiap proses adalah progress. Beda orang, beda tantangan, beda cara penyelesaian. Gak usah dibanding-bandingin.
Kira-kira begini:
- Setiap keputusan yang pernah kita ambil dilakukan berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang kita punya saat itu. Kita belum tau apa yang lebih baik. Kita belum punya pengalaman dan pengetahuan yang kita punya saat ini. Jadi, keputusannya pasti beda. Berhentilah menghakimi diri sendiri.
- Belajar bilang “iya” dan “enggak”. Hidup dipenuhi proses mencari tau mana yang cocok buat kita dan mana yang enggak. Apa yang cocok buat mereka belum tentu cocok buat kita. Gak semua saran perlu diamini. Ambil yang dianggap cocok buat diri sendiri, sisanya gak perlu dimusuhi. You do you.
Gue sempat mengeluhkan kesulitan gue dalam mengambil keputusan, “I don’t know what I want, I only know what I do not want”. Turns out that could also be a good start. Meskipun gue belum tau apa yang gue mau, seenggaknya gue udah mengeliminasi hal-hal yang gue tau gak cocok buat gue.
- Embrace the feelings. Gue terbiasa menekan setiap emosi negatif yang muncul dan lupa kalau sebenarnya itu salah satu cara bertumbuh. Misalnya perasaan gak nyaman saat mencoba sesuatu yang baru. Kok susah sih? Kenapa gue bisa gak tau hal kayak gini doang? Gue bakal berhasil gak ya? Atau perasaan sedih kehilangan hewan piaraan kesayangan (by the time I wrote this, I was grieving the death of my kitten Coco). Gue buru-buru ingin menghilangkannya.
Padahal, ya, gapapa. Gak ada yang mengharuskan kita selalu merasa bahagia. Emosi negatif ada supaya kita bisa lebih menghargai emosi positif. Nikmatin aja ‘sakit’nya. Nanti juga kuat lagi. Sabar.
Sesi 1,5 jam diakhiri dengan derai air mata dan perasaan lega. Entah karena puas bercerita atau akhirnya mulai berani berdamai dengan realita. Gak, gue gak lantas bisa langsung mempraktekkan seluruh poin di atas. One thing at a time, no?
Sekarang makin banyak platform yang menyediakan layanan konseling online dengan tarif terjangkau. Bahkan ada yang gratis! Jangan ragu untuk minta rekomendasi pertolongan, apapun kebutuhannya.
Let’s normalize going to therapy, shall we?
Be First to Comment