Skip to content

KFC

“Jadi di cancel aja nih?” Tanya gue dengan nada sedikit tinggi tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan.

Bokap hanya menggangguk pelan sambil merapikan kerah batiknya. Gue mengetik pesan di WhatsApp dengan cepat untuk membatalkan reservasi dinner. Butuh waktu lebih dari tiga puluh menit untuk kami keluar dari parkiran hotel mewah di bilangan Jakarta Selatan malam itu. Maklum, malam Minggu.

Sejak pindah ke Surabaya tiga tahun lalu, kondangan hampir gak pernah jadi momen yang intimate buat bokap. Semua dilakukan atas dasar memenuhi tuntutan profesi. Gue sempat mengamati bagaimana beliau bolak-balik mengecek dan melafalkan nama kedua mempelai di kartu undangan sebelum turun dari mobil, agar gak salah sebut. Ada banyak kepentingan yang harus dijaga di sana.

“Papa maunya makan di mana? Ini udah hampir jam sepuluh.”

Mata gue mulai sayu. Tenaga gue tersisa kurang dari sepuluh persen. Gue gak bisa membayangkan jadi bokap yang bekerja hampir dari Senin sampai Minggu. Traveling ke lebih dari dua kota dalam sehari udah jadi makanan sehari-hari. Kepala gue berdenyut membayangkannya.

Gak ada jawaban dari bokap. Gue melirik ke arah spion. Ternyata beliau tertidur di bangku belakang. Curi-curi waktu tidur, celetuknya saat dulu gue keheranan melihat bokap yang bisa terlelap dalam hitungan detik.

Duduk di kursi penumpang bukan berarti posisinya lebih nyaman. Ada panggilan untuk selalu siap berkawan alias networking yang setia menunggu di akhir perjalanan.

“KFC aja ya?” Gue melontarkan pertanyaan retoris. Nobody could say no to that offer in the middle of the night.

Bokap terbangun dan lagi-lagi hanya mengangguk pelan. Gue menyetir dalam diam. Suasana mulai terasa awkward. Buat gue, tepatnya. Canggung tiap kali berduaan dengan bokap. Takut gak siap dengan pertanyaan-pertanyaannya.

Satu jam kemudian kami sampai di salah satu outlet makanan cepat saji dekat rumah. Bokap menitipkan menu favoritnya ke gue dan segera berlalu ke meja makan. He looked exhausted and that was an understatement.

“Gimana bisnisnya?” Tanya beliau saat gue datang membawa makanan kami. Bahkan gue belum memutuskan mau duduk di sebelah mana. Here we go again, ucap gue dalam hati. Gak berani menyuarakan pikiran terlalu lantang.

Alhamdulillah baik,” sahut gue cepat. Kami menikmati makan malam sambil perlahan gue mengalihkan topik ke rencana pensiun bokap yang udah tinggal hitungan bulan.

“Papa gak mau jalan-jalan gitu? Atau cobain tinggal di kota lain?”

Bokap menggeleng mantap. “Enggak, Papa udah banyak traveling buat kerja. Dikasih gratis ke negara mana pun juga gak mau.”

Gue gak mengerti. Bukannya pensiun jadi momen yang ditunggu kebanyakan pekerja? Punya tabungan dan waktu yang cukup buat leha-leha. Apalagi didukung kondisi kesehatan yang memungkinkan. Kenapa Papa gak mau kemana-mana?

Gue terdiam beberapa saat sebelum kembali bertanya.

“Ada gak hal yang mau Papa lakuin tapi selama ini belum sempat?”

Bokap yang sedang menghabiskan cheese burger-nya tiba-tiba tersenyum. Sebuah senyuman yang sangat jarang gue lihat. Tatapan matanya berbinar seperti anak kecil yang diajak ke Kidzania dengan mimpi setinggi langit.

“Papa mau bangun bisnis yang sustainable. Selama ini kan gak pernah ada waktunya,” Pandangannya mulai menerawang jauh. He was there, but he wasn’t really there.

“Sebenarnya pas lulus kuliah dulu Papa maunya kerja di bidang sales, tapi akhirnya kecemplung jadi engineer sampai kayak sekarang. Waktu jadi freshgrad Papa sempat jualan macem-macem, mulai dari alat berat…”

Beliau bercerita bagaimana ambisinya ditinggalkan demi perjalanan karir yang lebih “menjanjikan”. Lebih stabil. Demi menciptakan masa depan yang lebih dari sekadar layak untuk anak-anaknya. Beliau udah memperhitungkan segalanya dengan matang sejak awal menikah. He lived for his kids’ lives.

Bokap menyimpannya dalam diam; dalam tiap perjalanan dinas yang menyita sebagian besar fokus hidupnya. Lebih dari tiga puluh tahun beliau menunggu momen pensiun untuk bisa menghidupkan kembali mimpi kecilnya.

Selama ini gue pikir bokap terlalu ambisius mengejar posisi dan prestasi. Gue gak pernah benar-benar sadar untuk (si)apa bokap menjalani itu semua. Gue benci dengan pekerjaannya yang telah banyak merenggut waktu gue bersama bokap. And I never knew that he felt the same way, too.

Just another year, he counted the days.

Tiba-tiba ada perasaan nyeri yang muncul di hati gue. I wish I could give him back the time of his lifeHe deserves that and so much more.

Sisa malam itu kami habiskan dengan berandai-andai menjadi pebisnis yang handal. Bokap sadar bahwa waktunya gak banyak, tapi lebih dari cukup.

I believed in him and his dreams. I might not always agree with his way of doing, but I wouldn’t want him to do it any other way.

I want to be his number one support system alongside our family, because I, KFC: Know (my) Father Can.

 

Be First to Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *