“Ini Joji sama Nala, yang baru bangun itu Lilo,” Acid memperkenalkan koleksi kucingnya ke kami bertiga yang mampir untuk mengambil jastip.
“Kalo itu siapa?” tanya gue ke arah halaman belakang rumah Acid. Dari jauh tampak sebuah gumpalan kapas bergerak, tapi warnanya hitam.
“Oh itu Timmy, si bontot.” Sadar dirinya diperbincangkan, Timmy pun berjalan menuju ruang tamu. Langkahnya pelan tapi pasti, tubuhnya kecil tapi sorot matanya memikat.
Dibanding dengan saudara-saudaranya yang terlihat sangat aktif dan atraktif, Timmy agak berbeda. Bulunya gak sepanjang Joji, hidungnya gak sepesek Nala, warna matanya gak secantik Lilo. Dia pun jauh lebih pendiam. Hanya duduk mengobservasi para tamu asingnya dalam jarak aman.
Tapi, entah kenapa buat gue kesederhanaan Timmy malah bikin dia terlihat lebih “mahal”.
Gue julurkan tangan gue untuk mengelus lehernya. Dia condongkan kepalanya mendekati gue, membiarkan dirinya bermanja. Hangat. Gue sama sekali bukan cat person, tapi rasa sayang itu muncul begitu saja. Begitu tiba-tiba hingga pertanyaan gue berikutnya cukup membuat Acid berhenti mengunyah dan menatap gue dalam-dalam.
“Serius lo mau adopsi Timmy? Bukannya lo gak suka kucing?”
“Mungkin gue mau coba, mumpung lagi WFH juga kan?” Mata gue gak lepas dari Timmy yang asik bermain dengan ekornya sendiri.
“Mbak, aku jalan dulu ya!” Pamit gue sambil menyalakan mobil. Cuaca siang itu sangat terik, tapi gak melunturkan senyum semangat gue.
Gue gak sabar jemput Timmy pulang ke rumah barunya.
Satu jam setelah Acid mengonfirmasi kesediaannya merelakan Timmy untuk diadopsi, gue langsung memenuhi shopping cart di sebuah marketplace dengan berbagai kebutuhan hidup seekor anak kucing.
Kandang rumahan, pet carrier, makanan harian yang basah dan kering, treats beragam rasa, tempat makan dan minum, litter box beserta pasir beraroma lavender dan sekopnya.
Gue siap menyambut Timmy Morocco pulang. Coco panggilannya. Biar gampang.
Kedatangan Coco ibarat oasis di tengah gurun. Semua orang (baca: Mbak Siti) ikut heboh. Gue hampir berantem sama Mbak Siti karena rebutan nyuapin treats Coco.
“Cid, liat nih Coco lagi manja-manjaan! Buruan lo buka itu video yang gue kiriiim!”
“Ya ampun anteng banget deh dia. Eh, ini purring terus kenapa ya? Bukan sakit kan!?”
“Ciddd! Coco makanin pasir! Gapapa!?”
Dari merespon cepat dengan kata-kata menenangkan, Acid kayaknya mulai capek melayani kepanikan gue. Maklum, ini kali pertama gue melihara kucing. Anak kucing pula. Katanya lebih rentan kenapa-kenapa. Gimana gue gak makin kenapa-kenapa.
Coco menginjak usia lima bulan dan belum pernah divaksin. Setelah dapat kabar tersebut, gue langsung mencari lokasi vet terdekat. Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Hampir mustahil bikin appointment sekarang.
Gue langsung pasang alarm jam tujuh pagi demi dapat antrian pertama keesokan harinya. Kalo boleh jujur, ini akan jadi waktu bangun terpagi gue selama beberapa bulan terakhir.
Coco is a sweetheart. Dia duduk anteng di luar pet carrier seolah ikut menikmati perjalanan menuju vet. Sesekali purring-nya masih terdengar halus.
Menit-menit awal pertemuan gue dengan seorang dokter hewan—Dokter Via—berlangsung lancar. Gue menceritakan latar belakang Coco sambil Dokter Via memerika kondisi fisiknya, dibantu oleh seorang asisten.
Sejujurnya, belum banyak yang gue tau tentang Coco selain usia, jenis kelamin, dan kali terakhir dia mandi yaitu sesaat sebelum gue jemput. Berdasarkan hasil observasi awam gue selama sehari, Coco hampir gak terlihat punya masalah apa-apa. Makan, main, dan buang airnya lancar.
However, just because you can’t see it doesn’t mean it isn’t there.
Dokter Via mengabari gue bahwa Coco belum bisa divaksin karena ternyata kulitnya dipenuhi ringworm alias jamur yang cukup parah. Dengan sistem imun yang masih lemah, anak kucing sangat rentan terkena penyakit kulit ini. Gejala umum seperti rasa gatal atau kerontokan rambut juga gak selalu muncul sehingga agak sulit terdeteksi.
Agar memudahkan pengobatan, Dokter Via mencukur rambut di area yang terkena ringworm. Untuk Coco, ini berarti sebagian besar tubuhnya akan botak. Iya, botak.
Gue hanya bisa termenung melihatnya. Bahkan di situasi begini Coco masih anteng. Gak mau nyusahin.
“Baik banget kamu, Nak. Biasanya kita udah dicakar atau digigit nih,” celetuk Dokter Via. Gue hanya tersenyum meringis melihat luka yang gak pernah diduga.
Setelah dicukur, Coco di scrub dan diberi salep serta obat cacing. Keseluruhan proses memakan hampir satu setengah jam. Gue diedukasi tentang cara melakukan perawatan mandiri di rumah selama dua bulan kedepan. Dua kali sehari. Pantang lupa.
Perjalanan dari vet ke rumah sore itu terasa sangat panjang. Gue coba mencerna yang baru saja terjadi. Kurang dari 24 jam main bersama, kini gue harus mengkarantina Coco karena penyakitnya yang menular.
Gue menghela nafas panjang. Bingung menginterpretasikan perasaan gue sekarang. Wajah murung gak bisa disembunyikan.
Kenapa harus Coco?
“Mungkin udah jalannya kamu terpilih ngerawat Coco,” katanya usai menemani gue ke vet. Mendadak gue seperti terhempas kembali ke bulan Juni 2016 lalu. Baru hitungan minggu kami saling kenal, baru terbangun rasa penasaran, Tuhan menghendaki ia mengidap sebuah penyakit langka. Dua bulan kami habiskan bersama di rumah sakit menuntaskan percakapan dan membalas perasaan.
Gue ingin teriak.
“Tapi kenapa sekarang?” Gue belum puas. Gue belum siap. Dengan perasaan yang ada sekarang, tumbuh ala kadarnya, apa gue bisa tetap merawat dan menyayanginya?
Suara gue bergetar. Rasa kesal, marah, sedih jadi satu. Tangannya hangat menggenggam tangan gue. Tangan yang dulu pucat membengkak akibat terlalu banyak bertemu jarum infus.
“Aku tau kamu bisa,” katanya mantap. Mata kami bertemu. Perlahan gue mengatur nafas sambil menyeka air mata. Genggaman tangannya menguat, begitu pun tekad gue.
Gue melirik Coco yang tertidur di dalam pet carrier. Perjalanan kami memang panjang.
This too shall pass. We got this, Son.
[…] hewan piaraan kesayangan (by the time I wrote this, I was grieving the death of my kitten Coco). Gue buru-buru ingin […]