Breathing

“Sekarang pejamkan mata, mulai tarik napas dalam-dalam lewat hidung lalu hembuskan perlahan…”

Seperti biasa, kelas dimulai dengan breathing exercise selama sekitar tiga menit. Waktu yang terbilang singkat, namun terasa seabad untuk sporty partner gue yang satu ini.

“Hhhh, kenapa sih yoga harus ada sesi napas segala. Lama banget, kenapa gak langsung mulai flow aja?” keluhnya sambil berusaha (terlihat) tenang.

“Ya itu gunanya, biar lo bisa ngurangin distraksi dulu sebelum flow-flow an,” sahut gue pelan.

Sejujurnya gue sendiri suka ngeluhin hal yang sama. Tepatnya capek harus berhadapan dengan intrusive thoughts dan past memories yang tiba-tiba muncul minta perhatian.

Padahal memang itu tujuannya: Letting go of control. Berhenti berusaha mengontrol pikiran, perasaan, keadaan. Fokus ke apa yang sekarang ada di *sini*.

Ngomongnya sih gampang, tapi kenyataannya jauh lebih… arrghhh. Karena sehari-hari terbiasa disibukkan oleh kerjaan dan to do list yang gak kelar-kelar, kadang kita malah lupa caranya rileks. Tiap kali lagi sibuk pengennya istirahat, tapi begitu ada waktunya, ada aja kesibukan yang dicari-cari sendiri.

Maybe it’s not that we don’t have time to rest, but we never really let ourselves rest; or we don’t know how to actually rest.

Semakin gue berusaha rileks, semakin gue gak ngerasa rileks. Just like us now, two on-the-go individuals who believe we must tick as many boxes as possible to feel good about ourselves, struggling to catch our own breath.

Capek melawan, akhirnya gue pasrah.

I acknowledge my struggle and say nothing. Not to my thoughts, not to my feelings, not to my surroundings. I try to focus on my breathing and watch as it gets slower and slower. I feel my fingers trembling, my heart racing. I feel overwhelmed and do nothing. I acknowledge an urge to cry for no apparent reason and just let it be.

“…silakan buka matanya kembali.”

Tiga menit berlalu, and it feels like I have just had my longest rest.