“Menyenangkan ya, born with a silver spoon?”
Celetuknya di tengah-tengah obrolan kami. Suasana di restoran bilangan Kemang siang itu cukup ramai. Maklum, hari Jumat. Puluhan orang berbaju batik terlihat menikmati santapan khas Sulawesi bersama koleganya.
“Well, aku bersyukur dikasih kesempatan hidup berkecukupan,” sahut gue singkat.
Di pertemuan kedua gue dan dia, obrolan kami lebih banyak membahas seputar keluarga. Kami sama-sama lahir di kota kecil, tapi gue pindah ke ibukota di usia tiga tahun karena pekerjaan bokap, sedangkan dia baru “keluar” selepas SMA untuk melanjutkan kuliahnya di Bandung. Ternyata hal ini punya pengaruh cukup besar terhadap penilaiannya tentang gue.
“Kalau gitu, apa rock bottom kamu? Pernah ngalamin susah?”
Gak ada yang salah dengan pertanyaannya. Menarik, malah. I appreciate his interest in understanding people on a deeper level. Tapi, menilai dan menghakimi kadang beda tipis.
“Finansial bukan satu-satunya masalah hidup, kan?”
Dia menyadari perubahan dalam intonasi suara dan raut wajah gue yang datar. Ketika gue hampir kehilangan selera makan maupun ngobrol, dia memutuskan untuk menceritakan lebih jauh tentang masa kecilnya. Gue mendengarkan dalam diam. Terdiam, tepatnya. Sesekali mengangguk, mencoba menempatkan diri di posisinya, walaupun terasa mustahil.
“That sounds… tough.” Gue butuh waktu lebih untuk mencerna. Dia hanya tertawa kecil seraya menyeruput cappuccino-nya.
Gue mulai melihat dia dari kacamata yang berbeda. Ceritanya barusan seolah membangun jembatan yang menyeberangi perbedaan latar belakang kami. Dibalik wataknya yang keras, ada kelembutan hati yang membangun empati. Ia ditempa sedemikian rupa untuk menjadi kuat layaknya emas.
“Menyenangkan ya, born with a golden fork?” Kini gantian gue yang tertarik menggali lebih dalam. Sejujurnya, ada sedikit nada cemburu di sana.
“Golden fork?” Dia mengernyitkan dahi.
“Iya. Katanya,” gue menarik nafas panjang sebelum melanjutkan. “Kalau orang pernah mimpi tentang golden fork alias garpu emas itu berarti simbol kesuksesan karir dan keuangan. Bukan tentang nominal atau title-nya, tapi seenggaknya orang itu bisa mengusahakan yang terbaik untuk mimpi-mimpinya. They have been a fighter for life.
Selama ini orang-orang yang aku anggap fighter punya beberapa kesamaan karakter, salah satunya mental dan prinsip yang kuat, tapi juga fleksibel. I find it inspiring and surprisingly easy to talk to them because they are not afraid to be different, to have an unpopular opinion, and to admit when they are wrong.
Karakter tersebut bukan serta merta bawaan lahir, tapi hasil sering dilatih.
Bisa dibilang aku tumbuh besar di lingkungan yang sangat “aman”. Orang tuaku melakukan segalanya untuk melindungiku dari rasa sakit sekecil apapun dengan cara mereka. Setiap aturan gak boleh dibantah, apalagi dipertanyakan. Semua demi kebaikanku, katanya. Siapa yang tau batas antara protektif dan posesif?
Hidup serba cukup terdengar menyenangkan, and while I’m forever grateful for that, lama-lama aku jadi stuck di zona nyaman. Aku lupa caranya berdiri di atas kaki sendiri. Ibarat singa yang tinggal di Taman Safari, semuanya di provide, lalu tiba-tiba dilempar ke alam liar dan disuruh berburu makanan secara mandiri. I feel lonely and clueless as hell.
I wish I had your privilege. Dikasih ruang untuk bikin salah, bangun opini pribadi, berani ambil resiko… Belajar jadi orang dewasa yang bertanggungjawab. Bukan karena tuntutan usia, tapi pilihan. Bahkan aku gak inget terakhir kali memil—”
“Maaf, yang sudah selesai boleh saya angkat?” Seorang pramusaji tersenyum ramah menghampiri. Tangan gue segera meraih gelas di ujung meja dan menghabiskan es teh tawar di dalamnya.
“Are you okay?” Tanyanya setelah pramusaji tersebut meninggalkan meja kami. Gue mengangguk pelan.
“Kok kamu bengong? Jadi, golden fork itu apa?”
“Bukan apa-apa, kayaknya lucu aja kalau dipasangin ke silver spoon,” jawab gue sekenanya.
Gue melirik garpu di atas piring, lalu ke dia. Tatapan kami bertemu. Tanpa ada niat membandingkan hidup siapa yang lebih tragis, gue jadi pengen colok matanya belajar lebih banyak darinya. Everyone has scars to heal and lessons to learn.
Ibarat makan, sendok dan garpu punya perannya masing-masing. Gak usah diributkan mana yang lebih penting, karena berdua, mereka hadir saling melengkapi.
Be First to Comment